Menghidupi Hidup Sepenuhnya dan Meminimalisir Kutukan Paradoksa Hidup.
Menghidupi Hidup Sepenuhnya
dan Meminimalisir Kutukan Paradoksa Hidup.
Oleh: M.Iqbal.M
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang semua manusia itu lemah
dan pengecut. Sehingga setiap manusia memerlukan pegangan sebagai kekuatan
untuk menjalani hidup yg serba berat dan absurd. Namun, manusioa yg lebih lemah
dan pengecut ialah manusia yg memanfaatkan dogma untuk menjalankan upayanya
dalam membuat tatanan yg tidak setara (persamaan hak, tanpa hirarki dan
kompetisi) antara setiap manusia. Misalnya, ketika slogan transenden seperti
allah hu akbar, yg digunakan ketika menghadapi sebuah keadaan konfrontatif.
Saya berkata demikian bukan berarti saya mengetahui solusi
lain dalam menangkal ketakutan psikis kita terhadap konfrontasi yg tengah
berlangsung, melainkan saya berkata demikian demi terwujudnya suatu keadaan
bahwa konfrontasi ialah suatu yg harus ditiadakan sejak dalam pikiran.
Kita sebagai manusia di tengah dunia absurd ini, hendaknya
sangat menghargai kenyataan bahwa hidup ialah sebuah kutukan yg dapat kita
jalani dgn bahagia. Bukan malah menciptakan konfrontasi yg hanya akan semakin
menyiksa diri kita.
Itu sebabnya, sosialisme-libertarian (ideologi
non-monolitik) sangatlah perlu di junjung tinggi, disamping tetap berupaya menahan
nafsu, menakhluk’kan arogansi diri, dan menjadi berani menjalani hidup tanpa
adanya kompetisi beserta kekawatiran yg timbul dari kecemasan kita terhadap
penderitaan material atupun kematian jasmani kita.
Kita semua dipaksa
untuk menjalani kutukan.
Kita semua
dipaksa untuk menjalani penderitaan.
Kita semua
dipaksa untuk menjalani kebuntuan.
Tapi,
siapapun kalian yang telah mampu bertemu dengan ketiadaan dan mampu merasakan
utopia di dalam relung utopian kedirian kalian, pasti akan menjadi sesuatu yg
ada dibalik ketiadaan kalian sebagai ketiadaan. Berbahagialah dengan menderita,
menderitalah dengan bahagia. Sesungguhnya, kita tak pernah menanam apa-apa, dan
tak pernah kehilangan apa-apa. Apapun yang ada hanyalah ketiadaan. Mari para
kolega, kita mengatakan “ya” pada paradoksa kehidupan dan menghidupi hidup yang
sepenuhnya dengan ketiadaan.
Komentar
Posting Komentar